Dapur Sastra Jakarta (DSJ) bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta menggelar Forum Diskusi Meja Panjang, Minggu (29/06), di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki.
Mengangkat isu “Kritik Sastra dan Peranan Sarjana Sastra Indonesia”, diskusi ini menghadirkan tiga pembicara kawakan: Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (Ketua Umum HISKI), Dr. Maman S. Mahayana, M.Hum. (sastrawan dan kritikus), dan Dr. Sunu Wasono, M.Hum. (akademisi dan kritikus sastra). Sementara AS. Laksana yang dijadwalkan hadir tidak bisa mengikuti kegiatan karena berhalangan.
Acara dibuka dengan sambutan dari Remmy Novaris DM, salah satu pendiri DSJ. Ia menegaskan bahwa forum ini merupakan bentuk komitmen DSJ dalam menjaga nyala diskusi sastra Indonesia.
“Harapannya forum seperti ini bisa menjadi agenda rutin. Kami ingin Dapur Sastra Jakarta hadir di tengah wacana sastra mutakhir, bukan hanya jadi penonton,” ujar Remmy.

Kritik Sastra: Masihkah Diajarkan atau Sudah Tinggal Nama?
Pembicara pertama, Sunu Wasono, memulai dengan mengulas polemik yang sempat menghangat di media sosial, terutama seputar dominasi karya Tere Liye di ruang-ruang kritik sastra kampus. Isu ini, kata Sunu, membuka kembali persoalan mendasar: Apakah mahasiswa sastra lebih butuh teori atau keterampilan membaca yang reflektif?
“Budi Darma sudah mewanti-wanti sejak tahun 80-an, bahwa banyak kritik sastra di kampus tidak nyambung antara teori, pembahasan, dan teks sastra itu sendiri,” ungkapnya.
Ia juga menyitir pesan mendiang Sapardi Djoko Damono: “Jangan bicara teori dulu. Pahami dulu teksnya. Jangan sampai semua karya sastra dibaca hanya untuk dicocok-cocokkan dengan teori.”
Di akhir paparannya, Sunu menyoroti pentingnya menghidupkan kembali karya kritik sastra, bukan hanya sebagai aktivitas akademik, tapi sebagai bagian dari ekosistem sastra yang hidup dan berkembang.
“Karya sastra terus tumbuh, tapi kritik sastra seolah tak ikut bergerak. Ini jadi pekerjaan rumah bersama,” tutupnya.
HISKI dan Tugas Mendorong Kritik yang Relevan
Sesi berikutnya diisi oleh Prof. Novi Anoegrajekti, yang membawa tema “Jejak HISKI dalam Kritik Sastra Indonesia”. Ia menelusuri sejarah HISKI sejak didirikan oleh Sapardi Djoko Damono tahun 1988, hingga kini menjangkau 70 komisariat dengan 3.000 lebih anggota aktif.
“HISKI tidak hanya tempat diskusi akademik, tapi juga penggerak literasi dan pemikiran sastra lintas kelompok. Program seperti Sekolah Sastra, Tukar Tutur, hingga Pidato Kesusastraan menjadi wujud konkret keterlibatan HISKI dalam memperluas cakupan kritik sastra,” jelasnya.
Novi juga menyoroti tantangan klasik di dunia akademik: keterbatasan akses terhadap karya ilmiah. “Skripsi, tesis, disertasi kerap mandek di rak perpustakaan. Padahal, isinya sangat kaya. HISKI mendorong agar karya-karya ini bisa dibuka ke ruang publik melalui jurnal, forum, hingga kanal digital,” tambahnya.
Ia menutup dengan pesan bahwa gerakan kritik sastra yang sehat harus melibatkan berbagai pihak—bukan hanya akademisi, tapi juga seniman, komunitas lokal, hingga lembaga pemerintah.

Maman S. Mahayana: Perlu Jalur Tengah Kritik Sastra
Sebagai pembicara ketiga, Maman S. Mahayana membawa perspektif sejarah dan reflektif tentang kritik sastra dan posisi sarjana sastra di Indonesia.
Ia membuka dengan pertanyaan mendasar: “Kapan sebenarnya kritik sastra mulai tumbuh di Indonesia? Siapa yang merintis? Dan mengapa praktiknya jadi seperti sekarang?”
Menurut Maman, perkembangan kritik akademik di Indonesia banyak dipengaruhi pendekatan struktural dan formalistik, terutama melalui dunia pendidikan. Hal ini melahirkan dikotomi antara sastra populer dan sastra serius—yang berdampak pada cara kritik ditulis dan dipahami.
Namun, ia juga menyentil praktik akademik yang terlalu elitis. “Jurnal ilmiah jadi seperti kerajaan tersendiri. Artikel penuh istilah dan terlalu formal. Ibaratnya, semuanya jadi serba ‘5K’: ketat, kumekekuh, kaku, kering, dan kedodoran,” sindirnya.
Ia mengkritik anggapan bahwa kritik sastra Indonesia sedang mati suri. “Itu isu sesat. Yang justru harus ditantang adalah bagaimana memperluas medan kritik agar bisa menyentuh pembaca umum.”
Sebagai solusi, Maman mengusulkan jalur tengah antara kritik akademik dan kritik kreatif—dengan membuka ruang lomba, penyederhanaan gaya penulisan jurnal, hingga penulisan buku populer berbasis riset.
Menuju Kritik Sastra yang Akrab dengan Publik
Di bagian akhir diskusi, Prof. Novi menyepakati perlunya tindak lanjut dalam bentuk konkret. Salah satunya dengan menyelenggarakan lomba kritik sastra kreatif, penulisan buku kolaboratif, serta forum diskusi lintas pelaku—baik penulis, akademisi, komunitas, hingga pembaca awam.
Sesi ditutup dengan diskusi interaktif yang dipandu moderator. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 50 peserta dari latar belakang beragam: mahasiswa, peneliti, kritikus, sastrawan, hingga pegiat literasi.
