Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) kembali menyelenggarakan kegiatan rutin bertajuk Sekolah Sastra, yang kali ini menginjak pertemuan kedua. Didukung Dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan RI, sesi ini digelar secara daring melalui Zoom dan disiarkan langsung di kanal YouTube Tribun Network serta HISKI Pusat, pada Sabtu (19/04).
Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) kembali menyelenggarakan kegiatan rutin bertajuk Sekolah Sastra, yang kali ini menginjak pertemuan kedua. Didukung Dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan RI, sesi ini digelar secara daring melalui Zoom dan disiarkan langsung di kanal YouTube Tribun Network serta HISKI Pusat, pada Sabtu (19/04).

Topik yang diangkat kali ini masih melanjutkan pembahasan seputar alih wahana sastra, yaitu proses mengadaptasi karya sastra ke berbagai bentuk media lain. Narasumber Prof. Dr. Yulianeta, M.Pd. dari HISKI Bandung, hadir untuk menyampaikan materi, didampingi Dr. Endah Imawati, M.Pd. sebagai moderator.
Acara diawali oleh sambutan oleh Dr. Pujiharto, M.Hum., Wakil Sekjen I HISKI Pusat, yang mengapresiasi pembahasan mendalam dari pertemuan sebelumnya. Ia menyoroti bahwa pendekatan alih wahana tak hanya menyentuh aspek artistik, tetapi juga membuka potensi dampak ekonomi dari transformasi sastra ke media populer.
“Prof. Neta sempat membahas bagaimana alih wahana bisa masuk ke wilayah seni pertunjukan dan punya pengaruh luas, termasuk dalam industri kreatif,” tuturnya. Pujiharto juga mengingat kembali wacana kolaborasi antara akademisi sastra dan sineas seperti yang pernah dicetuskan oleh Deddy Mizwar, namun mengakui bahwa saat ini fokus akademik cenderung beralih ke aspek teoretis.

Dalam materi bertajuk “Dari Naskah ke Animasi: Revitalisasi Manuskrip dan Cerita Rakyat Nusantara Melalui Alih Wahana Digital”, Prof. Yulianeta membedah lebih dalam bagaimana teknologi dapat menjadi medium baru dalam menjaga keberlangsungan karya sastra. Ia menjelaskan bahwa digitalisasi sastra meliputi transformasi cerita ke dalam bentuk film, musik, permainan digital, hingga pertunjukan virtual.
“Puisi bisa dinyanyikan, cerpen bisa diubah jadi podcast, dan novel bisa hidup kembali dalam bentuk serial web. Media digital membuka pintu yang luas untuk menjangkau pembaca baru,” terang Neta.
Ia menambahkan bahwa kemudahan akses melalui perangkat digital mendorong peningkatan minat baca, serta membuka ruang partisipatif melalui komentar dan diskusi daring.
Lebih dari sekadar bentuk baru, menurut Neta, alih wahana digital juga berperan dalam memperpanjang usia budaya lokal agar tetap relevan dalam era yang terus berkembang.

“Kita perlu melibatkan akademisi, komunitas, serta generasi muda untuk memastikan warisan sastra tak hanya disimpan, tapi juga tumbuh bersama zaman,” tegasnya.
Prof. Neta menekankan bahwa teknologi dan tradisi tidak perlu dipertentangkan. Justru, keduanya dapat berjalan beriringan untuk membawa nilai-nilai budaya ke ranah yang lebih luas dan lintas generasi.
“Merawat budaya bukan hanya tentang mengingat masa lalu, tapi juga tentang menanamkan nilai baru yang bisa membentuk masa depan,” pungkasnya.
Setelah pemaparan, sesi dilanjutkan dengan diskusi interaktif yang melibatkan peserta. Sekitar 225 peserta bergabung via Zoom, sementara tayangan ulangnya telah ditonton lebih dari 235 kali secara kumulatif di YouTube.

Sebagai catatan, Sekolah Sastra HISKI adalah program edukatif yang rutin digelar untuk memperkaya wawasan para anggota HISKI dari berbagai wilayah di Indonesia. Tahun ini, kegiatan diselenggarakan dua bulan sekali dalam dua sesi, bersamaan dengan program Tukar Tutur Sastra 2025 yang juga jadi agenda tetap HISKI Pusat di bawah koordinasi Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.
Dengan mengangkat tema transformasi sastra ke berbagai bentuk media, Sekolah Sastra diharapkan dapat menjadi ruang kolaborasi lintas disiplin −antara akademisi, pegiat budaya, dan masyarakat luas− untuk bersama-sama menjaga denyut sastra tetap hidup di tengah arus zaman (Az).