Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) kembali menyelenggarakan program unggulannya, Sekolah Sastra, yang kali ini mengangkat topik Mimesis sebagai bahasan utama. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube HISKI Pusat serta Tribun Network pada Sabtu, 18 Oktober 2025.
Program Sekolah Sastra yang difasilitasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ini kembali menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi terkemuka. Pada edisi kali ini, Prof. Manneke Budiman, M.A., Ph.D., dari Departemen Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menjadi pemateri utama. Diskusi dipandu oleh Dr. Endah Imawati, M.Pd., dari Tribun Network.
Acara dibuka oleh Wakil Ketua I HISKI Pusat, Prof. Mohd. Harun, M.Pd., yang dalam sambutannya menegaskan konsistensi HISKI dalam menyelenggarakan kegiatan ilmiah sastra secara berkala. Ia menyebutkan bahwa Sekolah Sastra telah menjadi salah satu kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan, mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga penikmat sastra.
“Program ini telah berlangsung sejak lama dan selalu dinantikan. Banyak peserta datang dengan semangat untuk memperdalam pemahaman mereka terhadap isu-isu sastra,” ujar Harun.
Menyinggung tema yang diangkat, Harun menyatakan bahwa meskipun istilah mimesis sudah tidak asing di telinga sebagian besar peserta, pemahaman yang utuh terhadap konsep tersebut masih perlu diperdalam. Ia pun mengajak peserta untuk aktif menyimak dan berdialog dalam sesi materi.
“Harapannya, diskusi ini bisa memberikan gambaran menyeluruh mengenai konsep mimesis. Jika belum cukup, akan kita lanjutkan kembali di sesi berikutnya pada 25 Oktober mendatang,” tambahnya.
Dalam sesi inti, Prof. Manneke Budiman menyampaikan materi bertajuk “Mimesis Sesi 1”, yang mengupas makna mimesis sebagai praktik representasi terhadap dunia nyata, baik melalui penggambaran alam, proses, maupun pengalaman manusia. Ia menekankan bahwa mimesis tidak hanya berfungsi sebagai peniruan, tetapi juga sebagai sarana manusia untuk memahami dan menciptakan realitas kulturalnya.
“Mimesis bukanlah tiruan semata. Ini adalah mekanisme manusia untuk merespons realitas, mencerminkan dirinya, bahkan membangun dunia alternatif yang khas melalui kebudayaan,” jelas Manneke.
Lebih lanjut, ia membahas pandangan tokoh-tokoh filsafat klasik seperti Plato dan Aristoteles. Menurutnya, Plato melihat seni sebagai ilusi yang menyesatkan, sementara Aristoteles menilai bahwa dorongan untuk meniru adalah fitrah manusia yang mendalam.
“Plato menganggap seni bisa menjauhkan manusia dari kebenaran, namun Aristoteles melihatnya sebagai alat untuk memahami kehidupan,” ujar Manneke.
Dalam pemaparannya, Manneke juga menyinggung pemikiran para pemikir modern seperti Rousseau, Adorno, hingga Derrida, yang memperluas makna mimesis ke dalam ranah keterlibatan aktif subjek dalam proses pembentukan identitas dan kebudayaan. Ia juga mengangkat kontribusi Erich Auerbach yang memandang mimesis sebagai interpretasi historis dan simbolik terhadap realitas, terutama melalui konsep figura yang sangat relevan dalam studi sastra klasik dan lisan di Indonesia.
“Dengan memahami mimesis, kita membahas lebih dari sekadar imitasi. Kita membahas bagaimana sastra memproduksi kenyataan, membentuk pemahaman, dan menciptakan dunia yang baru melalui representasi,” tegas Manneke.
Setelah pemaparan materi, sesi dilanjutkan dengan diskusi interaktif yang melibatkan peserta. Diskusi berjalan dinamis dengan berbagai pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Sekitar 105 peserta tercatat hadir di Zoom, sementara tayangan langsungnya telah ditonton lebih dari 250 kali melalui kanal YouTube.
Sebagai catatan, Sekolah Sastra merupakan bagian dari program kerja rutin HISKI Pusat, yang bertujuan untuk memperkaya wawasan dan kompetensi anggota HISKI yang tersebar dari Aceh hingga Papua, serta para peneliti dan akademisi sastra pada umumnya. Sekolah Sastra Sesi dua akan kembali hadir pada tanggal 25 Oktober 2025.