Gambar 1. Foto Bersama pemateri, moderator dan ketua HISKI
Gambar 1. Foto Bersama pemateri, moderator dan ketua HISKI

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) usai gelar sesi perdana program Sekolah Sastra di tahun 2025 dengan topik Sastra Elegis pada Sabtu (08/02/2025). Acara dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube Tribun Jatim Official dan Official HISKI Pusat.

Dimoderatori oleh Dr. Endah Imawati, M.Pd. (Tribun Network), Sekolah Sastra ke-13 ini menghadirkan narasumber Eta Farmacelia Nurulhady, M.Hum., M.A., Ph.D., dari HISKI Universitas Diponegoro Semarang.

Sebelum pemaparan materi, acara dibuka dengan sambutan Sekjen HISKI, Dr. Yeni Artanti, M.Hum. Ia menyampaikan, bahwa sebagai organisasi yang menaungi akademisi, peneliti, dan pecinta sastra, HISKI berkomitmen untuk terus menghadirkan ruang diskusi dan pembelajaran yang mencerahkan.

“Sastra tidak hanya menjadi media ekspresi estetik, tetapi juga jendela untuk memahami kompleksitas kehidupan manusia,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Yeni, tema Sastra Elegis yang diangkat pada Sekolah Sastra, menurutnya sangat relevan dalam memahami bagaimana kehilangan, kesedihan, refleksi dapat diolah menjadi karya sastra melalui medium bahasa.

“Kami berharap kegiatan ini menjadi wadah yang inspiratif bagi kita semua untuk menggali lebih dalam makna serta kekuatan sastra elegis dalam membangun kesadaran emosional, sosial, dan intelektual. Ruang diskusi yang disediakan HISKI ini membuka wawasan, memperkaya kajian, dan memberikan manfaat bagi kita semua,” harapnya.

Gambar 2. Pemateri Sastra Elegis
Gambar 2. Pemateri Sastra Elegis

Sastra Elegis

Eta memfokuskan paparannya pada puisi dan prosa elegis di Inggris abad ke-19. Sastra elegis merupakan genre yang mengekspresikan kesedihan, kehilangan, dan proses berduka. Elegi tradisional dalam puisi sering berakhir dengan nada penghiburan. Salah satu penandanya adalah elegiac stanza, yaitu kuatrain ber-rima AB-AB dalam irama iambic pentameter.

Ia menjelaskan kesedihan (grief) dan perkabungan (mourning) dari perspektif budaya dan psikologi. Dalam perspektif budaya, masyarakat memiliki cara masing-masing mengekspresikan duka, seperti melalui warna, seperti pakaian hitam pada etnis Jawa, putih pada etnis China. Sigmund Freud dalam Mourning and Melancholia membedakan antara perkabungan sehat dan melankolia patologis.

“Menurut Freud, melankolia patologis bisa menyebabkan rasa bersalah berlebihan dan perasaan seolah-olah pantas dihukum,” paparnya.

Eta menganalisis beberapa puisi, yaitu “Surprised” by Joy, “The Two April Mornings”, dan “We Are Seven” karya William Wordsworth. Puisi-puisi tersebut menggambarkan bagaimana orang yang telah meninggal dan memiliki ikatan dengan orang-orang yang masih hidup, membentuk komunitas, dan memengaruhi cara manusia mengekspresikan duka.

Melalui kajian ini, Eta menyoroti bagaimana sastra elegis membantu kita memahami cara masyarakat menghadapi kehilangan, dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Selesai pemaparan, acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan audiens. Banyak muncul pertanyaan kritis yang mendapat tanggapan dengan baik. Sebagian pertanyaan yang belum terjawab akan disampaikan pada pertemuan kedua.

Sampai akhir acara, Sekolah Sastra kali ini diikuti sekitar 169 peserta di Zoom Meeting dan telah ditonton 313 kali di akun Youtube HISKI.