Oleh: Maksimus Masan Kia (Peserta Webinar HISKI dari NTT)
Ibarat parang yang terus diasah agar menjadi tajam, otakpun demikian. Di rumah saja tidak lalu menumpulkan otak, apalagi mematikan kreativitas, hingga putusnya jejaring. Pandemi Covid-19, justru semakin menguatkan gagasan dalam melahirkan karya.
Mengakhiri siang, hingga mengantar senja tadi, Jumat 22 Mei 2020, saya berkesempatan mengikuti sebuah bincang yang saya beri nama, bincang bergizi. Topiknya adalah “Gerakan Literasi Nasional: quo Vadis? Ruang dan waktu ini, boleh saya peroleh dari Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) bekerja sama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Di NTT, organisasi ini sangat akrab dengan penulis kawakan milik NTT, Yoseph Yapi Taum.
Narasumber yang dihadirkan tidak sekedar. Mereka pakar di bidangnya masing-masing dengan segudang pengalaman dan gagasan yang luar biasa. Pertama, Prof. E. Aminudin Aziz, M.A., Ph. D, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, dengan posisi di London. Berikut Gola Gong. Siapa yang tidak kenal dalam dunia literasi nasional? Perannya cukup besar membangun dunia literasi se Nusantara, yang ia mulai dari Rumah Dunia, Kota Banten Jawa Barat. Gola Gong juga, adalah Pengurus HISKI Banten. Narasumber yang ketiga adalah, Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum, Ketua HISKI Pusat.
Dialog dengan host Dr. Muslimin,S.Pd.,M.Pd dan moderator Dr. Sastri Sunarti, M.Hum ini diikuti kurang lebih 300 peserta se Indonesia. Pemaparan materi dari ketiga narasumber masing-masing memberikan inspirasi membangun gerakan literasi.
Prof. Aminudin, dalam paparannya mensheringkan praktik baik giat literasi di London. Menurutnya, kepedulian pemerintah dan masyarakat tentang literasi sangat tinggi di London. Ada beberapa praktik baik yang sudah membudaya di sana yakni, (1) gerakan literasi menjadi tanggungjawab council (pemerintah kota /kecamatan), (2) Di lingkungan, disediakan pusat-pusat pendidikan (sejenis PKBM di Indonesia), (3) Gerakan literasi mendapat ruang promosi ke setiap rumah, di koran lokal, dan media -media sosial oleh pemerintah setempat, (4) Kecakapan literasi menjadi prasyarat setiap jenis pekerjaan, (5) Fasilitas umum menjadi wahana untuk “praktik” baik literasi seperti : tube (kereta bawah tanah), bis kota, penghentian bis, dsb, (6) Akses layanan masyarakat selalu menyertakan informasi tertulis, dan (7) Masyarakat Inggris merupakan salah satu masyarakat dengan sejarah budaya literasi yang lama. Dokumentasi tertulis tersimpan rapih di The British Library dan The British Museum atau perpustakaan dan museum lainnya yang tersebar (akses gratis). Hal menarik lain yang disampaikan yakni, orang tua selalu diberi tugas pendampingan terhadap anak dalam penyelesaian tugas seputar dunia literasi. Jika orang tua tidak mampu akan dibuka kursus khusus pendampingan orang tua untuk selanjutnya bisa mendampingi anak di rumah. Jika telah diberi kursus tetapi tidak menunjukan hasil positif dalam pendampingan anak di rumah, orang tua bersangkutan akan dikenakan sangsi berupa pajak.
Narasumber kedua, Gola Gong berbicara dari sisi praktis. Adapun program yang dilakukan bersama tim di Rumah Dunia yakni, membangun kelas digital dengan tagline “Kelas Digital, Berdaya dari Rumah”. Semangat berbagi yang telah ia tebarkan di seantero negeri dalam menghidupkan gerakan literasi, selalu melahirkan energi baru literasi dari rumah di tengah masa sulit. Kelas digital yang dibuka dibagi berdasarkan jenjang usia dan jenis kelamin. Dalam sepekan ada empat kali kegiatan dilaksanakan. Pesertanya dibatasi dan terlebih dahulu memenuhi beberapa petunjuk teknis. Ada kelas untuk anak berupa dongeng, menggambar, membaca nyaring dan lain-lain, kelas remaja diberi ruang berkesenian, kelas untuk ibu dan bapa dibuka kegiatan parenting dan kewirausahan. Antusias peserta luar biasa. Peserta yang sama akan dibimbing dan didampingi hingga menghasilkan karya dalam kurun waktu tiga bulan. Gerakan yang dibangun di rumah dunia mengusung spirit, edukatif, rekreatif dan interaktif.
Bagian terakhir narasumber Prof.Dr. Suwardi, melemparkan sekian ide berlian yang hangat didiskusikan. Banyak ide “gila” yang ia tawarkan.Katanya, kenapa tidak ada kantin sastra, warung sastra, rumah puisi, restoran sastra, dan lain-lain. Menurutnya, giat dalam dunia seni dan sastra harus dihidupkan dan mengakar hingga ke tengah masyarakat. Sastra mesti didorong masuk dalam kurikulum dan didalami serius oleh anak sekolah. Tidak sampai di situ, ia masih menyodorkan konsep-konsep segarnya mendenyutkan nadi literasi secara nasional. “Kita mesti berani, dan terbiasa menyebutkan sovenir pantun, kaus puisi, rumput puisi, tas menyimpan puisi, dan lain-lain,”katanya.
Dua jam terlibat aktif dalam bincang bergizi, dengan satu ruang bertanya sangat berkesan. Media digital mampu mendekatkan yang jauh dan ilmu berharga itu dengan mudah kita dapatkan secara gratis. Dan karena saya telah menerima ilmu sore tadi secara gratis, saya membayarnya dengan menulis di facebook, ruang media sosial, semoga dapat dibaca dan bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi ini. Terima kasih tak terhingga untuk penyelenggara dan narasumber yang luar biasa. Berharap, bisa terlibat pada edisi berikutnya. #Bincangbergizi